Berikut petikan wawancara dengan PMNews:
Papua Merdeka News (PMNews): Selamat pagi. KRP III, 2011 dibubarkan paksa oleh aparat neo-kolonial Indonesia. Presiden yang diangkat KRP dimaksud Forkorus Yaboisembut dan Perdana Menterinya Edison Waromi ditangkap bersama 300 orang lainnya. Sementara itu Lambert Pekikir dari salah seorang pemimpin gerilyawan di Perbatasan West Papua - PNG menuntut keduanya bertanggungjawab dan menolak hasil KRP III, 2011. Apa tanggapan TRWP?
A. Tabi (TRWP): Selamat pagi. Sabar dulu, ini ada beberapa hal yang ditanyakan, jadi saya jawab satu-per-satu, supaya saya tidak salah paham maksud pertanyaannya.
Pertama, mengenai pembubaran Kongres. Itu hal yang wajar, karena tanah air kita sedang diduduki oleh kekuasaan asing, yaitu neokolonial Indonesia sehingga memang mereka punya tugas mengamankan daerah jajahan mereka. Itu bukan hanya terjadi di tanah air kita. Lihat saja di Pulau Jawa juga banyak gerakan yang dianggap bertujuan atau mengarah kepada pemisahan diri dari NKRI, maka pasti mereka ditangani, dan kalau ada rapat atau kongres, pasti mereka dibubarkan. Itu konsekuensi logis, jadi kita tidak perlu merasa heran atau memarahi aparat NKRI. Memang itu tugas mereka. Memang untuk itulah mereka mulanya datang ke tanah air.
Kedua, mengenai apa yang KRP III sebut Presiden dan Perdana Menteri, yaitu satunya Ketua Dewan Adat Papua dan lainnya Ketua atau mereka sebut Presiden West Papua National Authority. Kedua lembaga ini sendiri punya cerita masing-masing. Seperti dinyatakan Panglima saya sebelumnya DAP semestinya mengurus adat. Artinya DAP harus paham "Apa artinya hak-hak dasar?"
Hak-hak dasar itu pertama dan terutama ialah hak untuk hidup. Disusul hak untuk hidup bebas (free from...), artinya bebas dari penindasan, bebas dari pengekangan, bebas dari intimidasi dan teror, bebas dari penyiksanaan, dan bebas dari penjajahan. Kebebasan ini juga dimaknai sebagai "free to..." artinya bebas untuk, jadi bebas untuk berkumpul, bebas untuk berpendapat, bebas untuk menyampaikan pendapat dan sebagainya, tetapi pada saat kebebasan ini bertabrakan dengan "hukum NKRI", maka ada pemaksaan untuk membatasi kebebasan itu.
Anda perlu perhatikan, yang menjadi masalah di sini "hukum" yang mengatur: yaitu memajukan kebebasan, yang melindungi dan yang membatasi kebebasan itu. Memang siapa saja berhak untuk menyatakan diri sebagai presiden dan perdana menteri apa saja, tetapi saat ia bertabrakan dengan presiden dan perdana menteri lain yang sudah ada, maka jelas ada tindakan yang diambil oleh mereka yang sudah menjadi presiden dan perdana menteri di situ mendahului mereka.
Hukum-hukum itu tidak pernah diatur oleh Dewan Adat Papua. Bagaimana mungkin DAP berpatokan kepada UU Otsus No. 21/2001 yang adalah produk hukum penjajah? Bagaimana mungkin hukum penjajah dijadikan dasar untuk membentuk negara baru? DAP sebagai Dewan dari Adat Papua seharusnya menghasilkan produk-produk HUKUM ADAT PAPUA, yang kemudian dapat dijaikan sebagai patokan bagi berbagai pihak dan komponen bangsa Papua sebagai dasar dan pijakan dari berbagai kegiatan yang dilakukan, termasuk sebagai dasar penyelenggaraan KRP III ini.
Dewan Adat Papua bertugas mengawasi pelaksanaan dari Hukum Adat Papua yang dihasilkannya dan seterusnya. Yang terjadi sekarang justru Dewan Adat Papua itu berubah sekejap menjadi Dewan Eksekutiv bangsa Papua, yaitu Presiden. Apakah ini sebuah kepandaian dan kelihaian orang Papua atau sebalinya?
Sampai di sini sudah jelas?
PMNews: Kami sedang ikuti dan paham.
TRWP: OK, saya lanjutkan.
Terkait dengan hukum, perlu dicermati bahwa kalau benar ini KRP III, maka KRP I, 1961 dan KRP II, 2000 haruslah menjadi pijakan agar sejarahnya berlanjut. Jangan kita memotong-motong sejarah perjuangan sebuah bangsa menjadi sesuatu yang sulit dipahami alur ceritanya karena ia terpotong-potong, dengan tema cerita yang beraneka ragam, dengan pemain yang bergonta-ganti, dengan nama yang berlainan pula. Bangsa ini sedang memainkan drama yang sangat kacau dan tidak sesuai aturan main. Sebuah drama yang tidak pantas ditonton.
Yang terjadi hari ini justru merupakan kelanjutan dari sejarah Bintang-14, yaitu tiba-tiba tokoh Papua Dr. Thom W. Wainggai tiba_tiba saja muncul dalam pentas politik Tanah Papua dan tiba-tiba saja memproklamirkan Melanesia Raya Merdeka tanggal 14 Desember 1988, waktu itu saya sendiri masih di bangku sekolah. Saya juga pernah dipanggil ke salah satu gereja dekat Kampus Uncen Abepura dan kami berdoa semalam-suntuk untuk peristiwa dimaksud. Kami yang lain pulang karena gagasan-gagasan yang dikeluarkan waktu itu kebanyakan masih di alam mimpi, dan juga karena sejarahnya tidak bersambung dengan sejarah bangsa dan Tanah Papua yang sudah lama kami tahu sampai saat ini. Kami lihat dengan jelas apa yang terjadi waktu itu sangat mendadak, tidak berdasar, tidak berakar, tidak terencana baik, orang-orangnya tidak dipasang dan diatur dengan baik, dan akhirnya hanya merupakan sebuah impian yang muluk-muluk dan mencelakakan. Kelihatannya cerita yang berulang saat ini, walaupun orangnya berbeda, dengan menggunakan nama organisasi yang berbeda, dengan mengibarkan bendera yang berbeda, dari perilaku dan mimpi-mimpinya nampak jelas, ini sebuah kelanjutan cerita tahun 1988.
Cermati saja, yang menyelenggarakan KRP I dan II itu berbendera bintang Berapa? Hubungkan saja dengan KRP III mengibarkan Bendera apa? Ya benar bendera yang sama, tetapi perlu diingat, yang dikibarkan di mata rakyat itu bendera yang dikenal bangsa Papua, yang dikibarkan di Luar Negeri dan di dalam hati itu dengan jumlah bintang yang berbeda sama sekali. Kalau Dr. Thom W. Wainggai sebagai tokoh mereka sudah tahu Bintang Kejora begitu lama, kenapa dia harus bikin bendera baru, beri nama negara baru, mengangkat dirinya sebagai tokoh utama? Bukankah sejarahnya berulang?
PMNews: Permisi, sebelum berlanjut, kami potong di situ dulu supaya jelas.
TRWP: Silahkan
PMNews: Pemimpin gerilyawan di wilayah Perbatasan Lambert Pekikir menolak KRP III ini dengan alasan yang berbeda dari alasan yang Anda sampaikan?
TRWP: Alasannya sama saja, persis sama. Cuma kata-kata yang dipakai dan cara menyampaikannya yang berbeda. Perlu dilihat bahwa beliau seorang gerilyawan tetapi nampak sekali sangat tahu bahasa politik. Memang kebanyakan gerilyawan di Tanah Papua ialah diplomat, mereka tahu berdiplomasi ketika berhadapan dengan pihak luar (entah itu wartawan atau masyarakat umumnya, apalagi dengan aparat NKRI). Kalau tidak begitu, banyak gerilyawan yang ditangkap dan tidak ada hari ini.
Saya kira ini hal ketiga yang perlu saya sampaikan tadi. Yaitu bahwa Semua gerilyawan di hutan Pulau New Guinea itu semuanya bicara satu hal dan hal yang sama. Dunia luar memang melihat seperti kami terpecah-pecah, tetapi mereka tidak tahu kami terpecah-pecah dalam hal apa, karena apa, dan untuk apa, dan mereka tidak tahu apa manfaat dari padanya. Yang mereka tahu hanya apa kerugian dari perbedaan-perbedaan yang ada. Jadi, prinsipnya General Yogi, Lambert Pekikir, Col. Nggoliar Tabuni, General Titus Murib semuanya mengatakan hal yang sama persis, cuman cara penyampaian dan penggunaan kata-katanya berbeda. Untuk membantu mengkoordinir, sekali lagi mengkoordinir dan mengakomodir bukan untuk mengatur perbedaan itulah maka General TRWP Mathias Wenda sebagai Panglima paling Senior dari sisi usia dan dari sisi pengalaman gerilya saat ini telah membentuk Tentara Revolusi West Papua dengan sistem administrasi dan menejemen yang modern dan profesional.
Semua perubahan ini dilakukan berdasarkan Hukum Revolusi (Undang-Undang Revolusi West Papua) yang telah disusun secara lengkap dan dilakukan dengan Surat-Surat Keputusan yang resmi, tidak seperti generasi pendahulu yang hampir tidak pernah meninggalkan bekas atau catatan yang dapat dijadikan dasar hukum untuk tindak-lanjutnya.
PMNews: Apakah TRWP juga memayungi gerilyawan dari Bintang-14?
TRWP: Tidak! Bintang-14 punya sayap militer bernama TPN PB dengan Ketua Dewan Militer General Jouweni dan Jubir Dewan Militernya Jonah Wenda. TPN PB itu sayap militernya sedangkan sayap politiknya ialah WPNA. Nah kini WPNA dan DAP yang menyelenggarakan Kongres.
PMNews: Kalau begitu, di mana TPN PB dan apa tindakan mereka sebagai tindak-lanjut kegiatan ini?
TRWP: Semua susunan dan tatanan organisasi TPN PB belum jelas, sama tidak jelasnya dengan organisasi politiknya WPNA. Mereka menggunakan nama WPNA tetapi mengibarkan Bintang Kejora. Sama dengan itu TPN PB itu bentukan Bintang-14, tetapi mengkleim dirinya murni TPN. Jadi, semuanya menjadi serba kacau.
PMNews: Kami perlu paham, apa bedanya TPN/OPM dengan TPN PB? dan Apa hubungannya dengan TRWP dan OPM?
TRWP: Kita perlu sosialisasi sejarah perjuangan ini dengan baik. Banyak informasi pernah tersedia di www.westpapua.net tetapi sekarang sudah tidak ada, tidak tahu kenapa. Tapi secara singkat begini:
[stickyleft]Perlu diingat makna dan arti dari setiap istilah dan kata-kata yang dipakai dalam memberikan nama-nama kepada setiap organisasi yang mengkelim memperjuangkan hak bangsa Papua. Jangan terfokus kepada isu-isu yang mereka bawa saja. Itu bisa mencelakakan diri sendiri.[/stickyleft]
1. TPN PB itu bentukan kelompok bintang-14 yang mengkleim dirinya sebagai TPN murni, tetapi dia menambah kata PB, sama dengan nama negara yang mereka umumkan yaitu Republik Demokratik Papua Barat.
2. TPN/OPM itu sebuah nama pemberian NKRI, dengan maksud dan tujuan akhir mematikan perjuangan Papua Merdeka. dengan menjadikan TPN dan OPM menjadi satu, maka lama-kelamaan apa yang dibuat OPM menjadi perbuatan TPN, apa yang dibuat TPN menjadi dosa OPM. Jadi, kita dikacaukan oleh wacana penjajah, seolah-olah dua organisasi induk sayap militer dan sayap politik itu satu dan sama saja. SEBENARNYA BUKAN BEGITU! Keduanya bukan satu dan bukan sama. Keduanya berbeda dan terpisah. Lihat saja catatan sejarah, tidak pernah ada orang Papua muncul pertama kali menggunakan nama TPN/OPM, yang ada OPM dengan TPN bukan TPN dan OPM. Pemberian posisi OPM yang mendahului atau TPN yang mendahului itu saja sudah menentukan pembedaan dan perbedaan arti dan maknanya. Yangterjadi selama ini berakibat pembodohan dalam pendidikan poiltik Papua Merdeka.
[stickyleft]PMNews kan sudah lama memuat dua aliran politik bangsa Papua, yaitu politik buru-pungut dan politik tanam-pungut. Keduanya milik bangsa Papua, tetapi keduanya harus dimanfaatkan kapan dan di era mana itu harus diperhatikan. Kedua penganut politik harus belajar satu sama lain.[/stickyleft]3. Oleh karena banyak kekacauan dan pembodohan inilah maka Gen Wenda melakukan reorganisasi organisasi perjuangan Papua Merdeka dengan membedah sayap militer dengan tetap mempertahankan dan mempersiapkan OPM sebagai organisasi induk perjuangan Papua Merdeka. Apa yang dipersiapkan dalam OPM? Yang dipersiapkan itu manusianya dan menejemen organisasinya. Supaya OPM menjadi organisasi induk kegiatan politik di dalam dan di luar negeri, bukan PDP, bukan DAP, bukan WPNA, bukan Republik Demokratik West Papua. Itu maksudnya.
Jadi, General Wenda ialah Panglima Tertinggi Komando Revolusi, bukan Panglima Tertinggi TPN/OPM. Lihat nama dan kata-kata dalam nama itu, keduanya berbeda. Menurut Wenda, pemimpin OPM sedang dipersiapkan, jadi akan muncul, dan saat itu, bukan pemimpin TPN/OPM lagi, tetapi pemimpin TRWP dan pemimpin OPM. Cuma akan ada variasi dalam organiasi TRWP.
Nah, sekarang mengenai pelaksana dan penanggungjawab Kongres ini. Presiden dan PM Versi WPNA (Kelompok Bintang-14) Tidak Bertanggungjawab atas Tindakannya. Kenapa setelah mereka diangkat langsung berakibat pengorbanan sebagai lanjutan pengorbanan sebelumnya. Kita mau hentikan korban berjatuhan lebih jauh, bukan menambahkan. Karena itu setiap tindakan mereka yang menyebut dirinya pemimpin harus diukur, diantisipasi dan dipersiapkan. Memang semua perjuangan dalam hidup manusia harus ada pengorbanan, termasuk korban nyawa, tetapi jangan kita ditembak di rumput-rumput dan di hutan rimba dan dibiarkan seperti bukan manusia yang tidak punya martabat seperti itu. Kalau bertanggungjawab dan siap mati, ya melarikan diri, jangan biarkan rakyat lari kocar-kacir, jangan bubar tanpa hormat, jangan begitu mudahnya dicerai-beraikan begitu hanya dengan tembakan peringatan. Pemimpin harus mampu melindungi mereka, dan menyatakan diri bertanggungjaweb dihadapan hukum penjajah, bukan ditangkap dan ditahan tetapi menyerahkan diri. Itu yang harus dilakukan penyelenggara kegiatan-kegiatan Papua Merdeka di dalam negeri selanjutnya.
PMNews: Kami kembali kepada penyelenggaraan kongres. Apa tanggapan akhir dan saran kepada bangsa Papua?
TRWP: Kami menyarankan agar semua pihak tidak dibodohi dan tdiak membodohi diri sendiri. Kita bukan orang-orang Papua
zaman Jouwe, Messet dan Joku lagi, ini era baru, era generasi muda
memimpin dan mengarahkan perjuangan ini. Kita jangan dikaburkan dengan
gelak dan gelagat oportunis. Kita lupakan cara orang lain bikin
panggung, lalu kita melompat naik dan manggung tanpa malu. Kita
tinggalkan politik ala NKRI, yang tidak tahu malu dan yang tidak pernah
meminta maaf. Kita harus berpedoman kepada sejarah, sejarah perjuangan
bangsa Papua, sejarah tokoh perjuangan Papua Merdeka, sejarah Organiasi Perjuangan Papua
Merdeka, sejarah tipu muslihat dan gelagat penjajah. Kita sudah terlalu
lama dibodohi orang lain dan membodohi diri sendiri. Kapan bangsa ini
mau menjadi pandai? Pandai membaca sejarah, pandai mengenal tokohnya,
pandai mengelola kekuatan dan kelemahannya, pandai mengenal batas-batas
kewenangan dan organisasinya, pandai memanfaatkan moment dan peluang?