JAYAPURA – Akademisi Universitas Cenderawasih, Panus Jingga menyatakan, seluruh rakyat di
Papua
mau dialog, namun dialog versi rakyat ini kadang diartikan sebagai
buntut dari segala sesuatu yang tidak tercapai, sehingga kesan yang
dimunculkan disebagian orang adalah dialog sama dengan referendum atau
dialog merupakan satu kata kunci menuju referendum.
Dikatakan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo dalam kesempatan perayaan Natal di
Papua sempat mengungkapkan, akan membuka ruang Dialog antara Pemerintah dengan rakyat di
Papua, namun ungkapan Dialog yang sempat terlontar dari mulut Presiden bukan Dialog Jakarta -
Papua seperti yang ada dalam pikiran semua orang di
Papua. Hal ini mengingat Dialog Jakarta -
Papua merupakan konsep Dialog yang telah digagas sebelumnya oleh Pastor Neles Tebay melalui jaringan Damai
Papua.
Menurut Panus Jingga, kita jangan salah persepsi tentang konsep
Dialog yang diungkapkan Presiden Desember 2014 lalu, kalau ditelisik
lebih seksama, makna Dialog yang dimaksudkan Presiden Jokowi adalah
bagaimana membuka ruang komunikasi yang intens antara Pemerintah dengan
rakyat di
Papua dalam soal-soal pembangunan dan kemajuan di
Papua, bukan Dialog untuk referendum.
Panus mengingatkan, upaya-upaya untuk Dialog diresponi semua pihak,
namun sekali lagi Dialog dibutuhkan dan harus berada dalam konsep yang
jelas dan tidak keluar dari NKRI. Kelompok Jaringan Damai
Papua
perlu menelisik apa konsep Dialog yang diinginkan Pemerintah seperti
diungkapkan Presiden, mengingat Presiden tidak pernah mengungkapkan
Dialog Jakarta-
Papua, Presiden hanya mengungkapkan membuka ruang Dialog.
Jaringan Damai
Papua perlu mengirim konsep ke Presiden atau ke Jakarta,
Papua
sebenarnya mau apa, itu dikirim ke Presiden. “ Kalau Presiden katakan
itu ada unsur memisahkan diri dari NKRI, maka BIN sebagai Badan
Intelijen Negara akan menghentikan proses Dialog itu,” ujar Panus
Kemarin.
Konsep Dialog akan diuji oleh BIN. Lembaga Intelijen Negera ini akan
menterjemahkan konsep Dialog yang diungkapkan Presiden dengan konsep
Dialog yang diinginkan rakyat
Papua sebagaimana digagas oleh jaringan Damai
Papua melalui koordinatornya Pastor Neles Tebay, ujar Panus.
Diakui, memang hanya Dialoglah yang akan membuka ruang untuk menyelesaikan semua masalah di
Papua, semua sektor, kalau Jaringan Damai
Papua
telah dibentuk sebagai sebuah Tim yang mulai membangun Dialog, maka
sebaiknya Tim yang sama juga terbentuk dari Pemerintah, Pemerintah juga
harus punya Tim yang mempunyai konsep Dialog, hingga kedua konsep Dialog
itu disamakan, disatukan. Diingatkan juga peran BIN yang tak akan diam
saja, BIN akan selalu mengikuti perkembangan dari permintaan Dialog
rakyat
Papua,
bahkan BIN akan menilai kalau Dialog itu menganggu kestabilan Negara,
BIN akan hentikan, BIN akan lihat kalau berbau referendum, otomatis
tidak akan jadi.
Lebih dari itu konsepnya akan beda saat mantan Presiden Habibie mengundang 100 Orang
Papua yang disebut Tim 100 menghadap Presiden, konsep seperti itu mungkin bisa. Jaringan Damai
Papua
diminta untuk mulai membangun komunikasi dengan Presiden dan
menyodorkan konsep Dialog mulai sekarang mengingat proses Dialog itu
panjang dan sudah harus dimulai dari sekarang.
Sementara itu, Yan Christian Warinussy Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari kepada Bintang
Papua
Kamis (26/3) menuturkan, Pernyataan Presiden Jokowi tersebut tentang
dialog ternyata cukup mempengaruhi perubahan total dalam aspek
komunikasi politik Jakarta-Papua, dimana kata dialog yang sebelumnya
sulit digunakan oleh sebagian besar pejabat negara, di pusat dan daerah,
tetapi kini seringkali diucapkan dengan mudah dan tanpa halangan,
bahkan diperbincangkan dalam berbagai level.
Menurut pandangan saya selaku Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (Human Right Defender/HRD) di Tanah
Papua bahwa seharusnya sejak itu, (27/12/2014), Pemerintah Provinsi
Papua dan Provinsi
Papua
Barat beserta segenap otoritas keamanan di daerah ini, seperti Polda
dan Kodam juga mulai mempersiapkan diri dan mengkaji dialog sebagai alat
penyelesaian konflik bersenjata di Tanah
Papua.
Sekiranya Gubernur
Papua dan
Papua Barat beserta jajaran DPR
Papua dan
Papua
Barat maupun MRP serta MRP PB segera ikut memfasilitasi berbagai
langkah hukum dan politik dalam mendorong terjadinya dialog diantara
berbagai komponen masyarakat di Tanah
Papua sejak sekarang ini.
Terselenggaranya dialog diantara rakyat di
Papua dan
Papua Barat atau bisa disebut sebagai Dialog Internal
Papua dapat difasilitasi penuh oleh pemerintah daerah di kedua provinsi tertimur di Nusantara tersebut sejak sekarang ini.
Barangkali akan sangat baik, jika kedua Kepala Daerah Provinsi di
Papua dan
Papua Barat tersebut dapat meminta nasihat dan saran bahkan asistensi dari Jaringan Damai
Papua (JDP) beserta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai inisiator dan sekaligus fasilitator dialog
Papua - Jakarta atau
Papua - Indonesia yang masih aktif hingga dewasa ini.
Dialog seharusnya kini menjadi kata kunci dan dapat didorong untuk
dimasukkan dalam perencanaan pembangunan dan pemerintahan dan terutama
dalam konsep penyelesaian konflik sosial-politik di Tanah
Papua untuk Membangun Perdamaian Bersama.
Tujuan pencapaian
Papua
Sebagai Tanah Damai (PTD) seharusnya tidak menjadi slogan kosong, tapi
merupakan sebuah tujuan luhur dari semua komponen pemerintah
lokal/daerah, insitusi keamanan (TNI/POLRI) maupun masyarakat adat/sipil
dan kelompok masyarakat sipil pendukung
Papua Merdeka ke depan. (ven/sera/don/l03)
Source:
BinPa, Jum'at, 27 Maret 2015 01:59